Hubungan Masyarakat ( Humas )

Hubungan masyarakat, atau sering disingkat humas adalah seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik sehingga dapat memperdalam kepercayaan publik terhadap suatu individu/ organisasi [1].

Menurut IPRA (International Public Relations Association) Humas adalah fungsi manajemen dari ciri yang terencana dan berkelanjutan melalui organisasi dan lembaga swasta atau publik (public) untuk memperoleh pengertian, simpati, dan dukungan dari mereka yang terkait atau mungkin ada hubungannya dengan penelitian opini public di antara mereka.[2]

Sebagai sebuah profesi seorang Humas bertanggung jawab untuk memberikan informasi, mendidik, meyakinkan, meraih simpati, dan membangkitkan ketertarikan masyarakat akan sesuatu atau membuat masyarakat mengerti dan menerima sebuah situasi [3].

Seorang humas selanjutnya diharapkan untuk membuat program-program dalam mengambil tindakan secara sengaja dan terencana dalam upaya-upayanya mempertahankan, menciptakan, dan memelihara pengertian bersama antara organisasi dan masyarakatnya.

Posisi humas merupakan penunjang tercapainya tujuan yang ditetapkan oleh suatu manajemen organisasi. Sasaran humas adalah publik internal dan eksternal, dimana secara operasional humas bertugas membina hubungan harmonis antara organisasi dengan publiknya dan mencegah timbulnya rintangan psikologis yang mungkin terjadi di antara keduanya.

Contoh dari kegiatan-kegiatan Humas adalah: melobi, berbicara di depan publik, menyelenggarakan acara, dan membuat pernyataan tertulis.

Di dunia

Konsep dasar Humas diperkenalkan pada tahun 1906 oleh Ivy Lee saat ia berhasil menjembatani konflik buruh batubara dan pengusaha. Konsep ini lalu dikenal sebagai Declaration of Principle (Deklarasi Azas-Azas Dasar) yaitu prinsip yang terbuka dan tidak menyembunyikan data dan fakta.[rujukan?]

==> Di Indonesia

Humas di Indonesia dikenal pada tahun 1950an dimana humas bertugas untuk menjelaskan peran dan fungsi-fungsi setiap kementrian, jawatan, lembaga, badan, dan lain sebagainya.[rujukan?]

==> Pekerjaan seorang humas

Pekerjaan seorang humas adalah tugas-tugas yang dilakukan oleh seorang humas dalam mempromosikan pengertian dan pengetahuan akan seluruh fakta-fakta tentang runtutan situasi atau sebuah situasi dengan sedemikian rupa sehingga mendapatkan simpati akan kejadian tersebut[4].

Pada umumnya kesan yang jelek datang dari ketidak-pedulian, prasangka buruk, sikap melawan, dan apatis. Seorang petugas humas harus mampu untuk mengubah hal-hal ini menjadi pengetahuan dan pengertian, penerimaan dan ketertarikan.[rujukan?]

Bagian penting dari pekerjaan petugas Humas dalam suatu organisasi adalah :[rujukan?]

    * Membuat kesan (image)
    * Pengetahuan dan pengertian
    * Menciptakan ketertarikan
    * Penerimaan
    * Simpati

Humas adalah sebuah proses yang terus menerus dari usaha-usaha manajemen untuk memperoleh kemauan baik dan pengertian dari pelanggan, pegawai, dan publik yang lebih luas. Dalam pekerjaannya, seorang humas membuat analisis ke dalam dan perbaikan diri, serta membuat pernyataan-pernyataan keluar.[rujukan?]

Pada umumnya kesan yang jelek datang dari ketidak-pedulian, prasangka buruk, sikap melawan, dan apatis. Seorang humas harus mampu untuk mengubah hal-hal ini menjadi pengetahuan dan pengertian, penerimaan dan ketertarikan.[rujukan?]

==> Fungsi humas

Menurut Edward L.Bernays humas memiliki fungsi sebagai berikut :

   1. memberikan penerangan kepada publik,
   2. melakukan persuasi kepada publik untuk mengubah sikap dan tingkah laku publik
   3. Upaya untuk menyatukan sikap dan perilaku suatu lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat, atau sebaliknya.[5]

==> Kesan (image)

Kesan disini berarti “gambaran yang diperoleh seseorang tentang suatu fakta sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pengertian mereka (terhadap suatu produk, orang, atau situasi)”.[rujukan?]

==> Pengetahuan dan pengertian

Humas memiliki peran penting dalam membantu menginformasikan pada publik internal (dalam organisasi) dan publik eksternal (luar organisasi) dengan menyediakan informasi akurat dalam format yang mudah dimengerti sehingga ketidak-pedulian akan suatu organisasi, produk, atau tempat dapat diatasi melalui pengetahuan dan pengertian.[rujukan?]

==> Menciptakan ketertarikan

Humas juga harus dapat menciptakan ketertarikan publik dalam suatu situasi atau serial situasi, yang bisa jadi berpengaruh besar dalam suatu organisasi atau sekelompok orang.[rujukan?]

Menggunakan strategi kehumasan dalam hal ini bisa menjadi sangat efektif.[rujukan?]
==> Penerimaan

Masyarakat mungkin bersikap melawan pada sebuah situasi karena mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi, atau mengapa hal tersebut terjadi. Profesi humas mempunyai peran kunci untuk menjelaskan sebuah situasi atau kejadian dengan sejelas-jelasnya sehingga ketidak-pedulian, dan bahkan sikap menentang, yang menjadi atmosfer disekelilingnya dapat diputar menjadi pengertian dan penerimaan.[rujukan?]
==> Simpati

Dengan mengemukakan informasi secara jelas dan tidak bias, umumnya merupakan cara yang berhasil untuk meraih simpati.[rujukan?]

==> Kesalahan umum

Kesalahan umum yang terjadi adalah program humas dianggap sebagai program jangka pendek, dan program penanggulangan reaktif saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kala hubungan dengan masyarakat menjadi buruk.[rujukan?]

==> Kegiatan humas

Tujuh puluh persen dari kegiatan seorang humas berhubungan dengan tulis menulis selain tugas-tugas lainnya. Diantaranya adalah:[rujukan?]

   1. Merancang pesan tematik agar pesan yang disampaikan oleh organisasi memiliki keseragaman/ keterkaitan pesan. Contoh: Bank Niaga saat menggelar tema “Cinta”.[rujukan?]
   2. Melakukan segmentasi media, dimana seorang humas harus mampu memformulasikan keseimbangan saling dukung antara media cetak dan elektronik.[rujukan?]
   3. Komunikasi interaktif. Contohnya beberapa organisasi dalam merancang logonya melakukan pelibatan konsumen dimana dilakukan kompetisi merancang logo, contoh lain adalah rubrik konsultasi atau jasa layanan konsumen melalui telpon.[rujukan?]
   4. Menjaga reputasi perusahaan dan citra produk melalui pemanfaatan kekuatan pesan dan atau kombinasinya. Contoh: kegiatan sponsor: Dari Mayora.[rujukan?]
   5. Iklan multiguna (memanfaatkan momentum psikologis). Contoh: bukan basa-basi.[rujukan?]
   6. Penjualan simpatik. Contoh: Aqua menyisihkan hasil penjualan untuk pipa mengalirkan air di kawasan timur Indonesia.[rujukan?]
   7. Melakukan iklan layanan masyarakat.[rujukan?]
   8. Pemasaran dari mulut kemulut. Contoh: Taksi Bluebird dalam memasarkan reputasi yang baik jarang menggunakan iklan media massa.[rujukan?]
   9. Ajang pemasaran khusus dimana aktivitas dirancang untuk melibatkan khalayak. Contoh: Ajang Jakarta Fair[rujukan?]
  10. Memanfaatkan komunikasi yang akrab untuk pelanggan. Contoh: Layanan purna jual, dsb.[rujukan?]

==> Bauran humas

Thomas L. Harris dalam bukunya Marketer’s Guide to Public Relations yang melahirkan Marketing Public Relations (MPR), peranan humas menjadi Pencils yang hampir mirip dengan promotion mix yaitu formula PASP (Publications, Advertising, Sales Promotions, dan Personal Selling). Pencils jika dijabarkan secara rinci dalam korelasi komponen utama peranan humas adalah sebagai berikut :[rujukan?]

==> Publikasi

Setiap fungsi dan tugas humas adalah menyelenggarakan publikasi atau menyebarluaskan informasi melalui berbagai media tentang aktivitas atau kegiatan perusahaan atau organisasi yang pantas untuk diketahui oleh publik.[5]

==> Event (Penyusunan program acara)

Macnamara (1996: 154) menyatakan bahwa special event adalah sebuah event yang biasanya dilaksanakan untuk mendapatkan perhatian media yang bermuara pada perhatian publik tentang perusahaan (atau organisasi) atau produk perusahaan . Merancang acara tertentu atau lebih dikenal dengan peristiwa khusus (special event) yang dipilih dalam jangka waktu, tempat, dan objek tertentu yang khusus sifatnya untuk memengaruhi opini publik.[5]

==> News (Menciptakan berita)

Berita adalah informasi yang belum diketahui oleh pihak penerimanya.Menurut Rosady Ruslan menciptakan berita dilakukan melalui press release, news letter, dan bulletin, dan hal lain yang mengacu pada teknis penulisan 5W + 1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) dengan sistematika penulisan “piramida terbalik”, yang paling penting menjadi lead dan intro yang kurang penting diletakkan di tengah batang berita.[5]

==> Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat (bahasa Inggris:Community Development) secara umum merupakan kegiatan pengembangan masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan pembangunan.[6]

Sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.[6] Program Community Development memiliki tiga karakter utama yaitu berbasis masyarakat (community based), berbasis sumber daya setempat (local resource based) dan berkelanjutan (sustainable).[6] Dua sasaran yang ingin dicapai yaitu: sasaran kapasitas masyarakat dan sasaran kesejahteraan.[6] Sasaran pertama yaitu kapasitas masyarakat dapat dicapai melalui upaya pemberdayaan (empowerment) agar anggota masyarakat dapat ikut dalam proses produksi atau institusi penunjang dalam proses produksi, kesetaraan (equity) dengan tidak membedakan status dan keahlian, keamanan (security), keberlanjutan (sustainability) dan kerjasama (cooperation), kesemuanya berjalan secara simultan. [6]

==> Produk-produk tertulis humas

Diantaranya adalah:[rujukan?]

   1. Siaran pers yaitu informasi yang mengandung nilai berita dan disampaikan oleh publik melalui media massa.
   2. Latar belakang (Backgrounder)
   3. Media internal
   4. Laporan tahunan
   5. Advetorial
   6. Profil perusahaan
   7. Lembaran berita (Newsletter)
   8. Prospektus
   9. Penulisan komentar pembaca
  10. Penulisah naskah pidato
  11. Iklan layanan masyarakat

Pengertian Humas

Hubungan masyarakat atau Public Relations adalah suatu usaha yang sengaja dilakukan, direncanakan secara berkesinambungan untuk menciptakan saling pengertian antara sebuah lembaga/institusi dengan masyarakat. Humas (PR) adalah sebuah seni sekaligus ilmu sosial dalam menganalisa kecenderungan, meramalkan konsekuensinya, memberikan pengarahan kepada pimpinan institusi/lembaga dan melaksanakan program-program terencana yang dapat memenuhi kepentingan baik institusi maupun lembaga tersebut maupun masyarakat yang terkait.
Public Relations (PR) merupakan fungsi manajemen untuk mencapai target tertentu yang sebelumnya harus mempunyai program kerja yang jelas dan rinci, mencari fakta, merencanakan, mengkomunikasikan, hingga mengevaluasi hasil-hasil apa yang telah dicapainya.
Public relation atau hubungan masyarakat masih merupakan bidang baru terutama di Indonesia. Lahirnya public relations seperti yang dipraktekan sekarang ialah karena adanya kemajuan-kemajuan dalam berbagai macam bidang itu. Kemajuan yang sekaligus merupakan juga kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, memisahkan manusia kedalam berbagai kelompok atau golongan, yang masing-masing mempunyai tujuan sendiri dan berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka untuk menciptakan kerja sama, public relations merupaka suatu kebutuhan dalam masyarakat dewasa ini, dimana orang-orangnya bergerak diberbagai bidang, misalnya dalam bidang industri, perusahaan, pendidikan, pemerintahan, kerokhanian, social ekonomi, politik perburuan dan sebagainya.
Banyak orang tidak percaya dan sulit mempercayai bahwa humas bermanfaat bagi organisasi atau lembaganya, anggapan itu dikarenakan kesalahan penerapan humas itu sendiri, penerapan humas terkadang cenderung tidak terintegrasi dengan bagian yang lain, dan tidak terencana dengan baik , padahal humas tidak beda dengan fungsi manajemen yang lainnya, yang memerlukan perencanaan, pengorganisasian, aksi dan evaluasi, dalam arti kerja humas haruslah terencana dengan baik, dan dirumuskan tujuannya serta ditentukan tingkat keberhasilannya.
Pendekatan public relations memang tidak harus dilihat semata-mata sebagai aparat kelembagaan, seperti dalam wujud Bagian Humas atau Biro Humas. Yang utama, memang, penerapannya sebagai metode komunikasi oleh tiap karyawannya. Mengingat diperlukan waktu panjang untuk mengusahakan tiap karyawan mampu menerapkan public relations sebagai metode komunikasi dalam kehidupan dan kegiatan sehari-harinya, hadirnya public relations sebagai lembaga di lingkungan pemerintah kabupaten dan kota masih diperlukan.
Selain dua pendekatan itu, masih dimungkinkan pendekatan ketiga yakni peran humas dirangkap top manager atau perangkat pemerintah lain. Kemungkinan lainnya, pemerintah mempekerjakan konsultan jasa di bidang public relations yang berada di luar struktur pemerintahan, terus-menerus atau secara insidental.
Dalam era ini humas sebagai salah satu fungsi manajemen dalam lingkungan pemerintah kabupaten atau kota perlu tetap dipertahankan bahkan harus ditingkatkan perannya. Peningkatan perannya dengan jalan memperbarui dan menyesuaikan konsep humas pemerintah yang selama ini kita kenal, dan menerapkan konsep public relations dalam manajemen modern selaras tuntutan dan tantangan era Orde Reformasi, era Masyarakat Informasi dan era Otonomi Daerah.

PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL

   1. Pendahuluan

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbale-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dst.

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.

   1. Interaksi Sosial sebagai Faktor Utama dalam Kehidupan Sosial

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial(yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interasi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompo tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.

Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi sosial tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud.

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor :

   1. Imitasi

Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku

   1. Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.

   1. Identifikasi

Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.

   1. Proses simpati

Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

   1. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok.

Dua Syarat terjadinya interaksi sosial :

   1. Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk.Yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, antarelompok. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak langsung.
   2. Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.

Kata kontak berasal dari bahasa Latin con atau cum (artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Arti secara hanafiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadinya hubungan badaniah. Sebagai gejala seosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena dewasa ini dengan adanya perkembangan teknologi, orang dapat menyentuh berbagai pihak tanpa menyentuhnya. Dapat dikatakan bahwa hubungan badaniah bukanlah syarat untuk terjadinya suatu kontak.

Kontak sosial dapat terjadi dalam 3 bentuk :

   1. Adanya orang perorangan

Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebuasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana dia menjadi anggota.

   1. ada orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya

kontak sosial ini misalnya adalah seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memkasa anggota-anggotanya menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.

   1. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.

Umpamanya adalah dua partai politik mengadakan kerja sama untuk mengalahkan parpol yang ketiga di pemilihan umumu.

Terjadinya suatu kontak tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. Kontak sosial yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sengangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama seali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

Suatu kontak dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak perimer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka. Kontak sekunder memerlukan suatu perantara. Sekunder dapat dilakukan secara langsung. Hubungan-hubungan yang sekunder tersebut dapat dilakukan melalui alat-alat telepon, telegraf, radio, dst.

Arti terpenting komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gera-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.

Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan suatu kelompok manusia atau perseorangan dapat diketahui oleh kelompok lain atau orang lainnya. Hal itu kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang dilakukannya.

   1. Kehidupan yang Terasing

Pentingnya kontak dan komunikasi bagi terwujudnya interaksi sosial dapat diuji terhadap suatu kehidupan yang terasing (isolation). Kehiduapan terasing yang sempurna ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain. Kehidupan terasing dapat disebaban karena secara badaniah seseorang sama sekali diasingkan dari hubungan dengan orang-orang lainnua. Padahal perkembangan jiwa seseorag banyak ditentuan oleh pergaulannya dengan orang lain.

Terasingnya seseorang dapat pula disebabkan oleh karena cacat pada salat satu indrany. Dari beberapa hasil penelitian, ternyata bahwa kepribadian orang-orang mengalami banyak penderitaan akibat kehidupan yang terasing karena cacat indra itu. Orang-orang cacat tersebut akan mengalami perasaan rendah diri, karena kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang dan bahkan sering kali tertutup sama sekali.

Pada masyarakat berkasta, dimana gerak sosial vertikal hampir tak terjadi, terasingnya seseorang dari kasta tertentu (biasanya warga kasta rendahan), apabila berada di kalangan kasta lainnya (kasta yang tertinggi), dapat pula terjadi.

   1. Bentuk-bentu Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk poko dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.

Gillin dan Gillin mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial :

   1. Proses-proses yang Asosiatif

   1.
         1. Kerja Sama (Cooperation)

Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.

Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.

Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”

Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :

   1. Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta
   2. Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa
   3. Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
   4. Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.

Ada 5 bentuk kerjasama :

   1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong
   2. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih
   3. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan
   4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karenamaksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
   5. Joint venture, yaitu erjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya pengeboran minyak, pertambangan batubara, perfilman, perhotelan, dst.

   1.
         1. Akomodasi (Accomodation)

Pengertian

Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujukk pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :

   1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham
   2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer
   3. Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.
   4. mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.

Bentuk-bentuk Akomodasi

   1. Corecion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan
   2. Compromise, bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
   3. Arbitration, Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri
   4. Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
   5. Toleration, merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.
   6. Stalemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.
   7. Adjudication, Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan

Hasil-hasil Akomodasi

   1. Akomodasi dan Intergrasi Masyarakat

Akomodasi dan intergrasi masyarakat telah berbuat banyak untuk menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan laten yang akan melahirkan pertentangan baru.

   1. Menekankan Oposisi

Sering kali suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu dan kerugian bagi pihak lain

   1. Koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda
   2. Perubahan lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan baru atau keadaan yang berubah
   3. Perubahan-perubahan dalam kedudukan
   4. Akomodasi membuka jalan ke arah asimilasi

Dengan adanya proses asimilasi, para pihak lebih saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka lebih mudah untuk saling mendekati.

Asimilasi (Assimilation)

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

Proses Asimilasi timbul bila ada :

   1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya
   2. orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga
   3. kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri

Beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah ke suatu proses asimilasi (interaksi yang asimilatif) bila memilii syarat-syarat berikut ini

   1. Interaksi sosial tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain tadi juga berlaku sama
   2. interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan
   3. Interaksi sosial tersebut bersifat langsung dan primer
   4. Frekuaensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola tersebut. Artinya, stimulan dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangankan.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi adalah :

   1. Toleransi
   2. kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
   3. sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
   4. sikap tebuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
   5. persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
   6. perkawinan campuran (amaigamation)
   7. adanya musuh bersama dari luar

Faktor umum penghalangan terjadinya asimilasi

   1. Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat
   2. kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu seringkali menimbulkan faktor ketiga
   3. perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi
   4. perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
   5. Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi
   6. In-Group-Feeling yang kuat menjadi penghalang berlangsungnya asimilasi. In Group Feeling berarti adanya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yang bersangkutan.
   7. Gangguan dari golongan yang berkuasa terhadap minoritas lain apabila golongan minoritas lain mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa
   8. faktor perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi.

Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial. Proses yang disebut terakhir biasa dinamakan akulturasi. Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi sosial kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.

   1. Proses Disosiatif

Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk kepentingan analisis ilmu pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan dalam tiga bentuk, yaitu :

Persaingan (Competition)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunya dua tipe umum :

   1. Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam memperoleh kedudukan. Tipe ini dinamakan rivalry.
   2. Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua perusahaan besar yang bersaing untuk mendapatkan monopoli di suatu wilayah tertentu.

Bentuk-bentuk persaingan :

   1. Persaingan ekonomi : timbul karena terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen
   2. Persaingan kebudayaan : dapat menyangkut persaingan bidang keagamaan, pendidikan, dst.
   3. Persaingan kedudukan dan peranan : di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan terpandang.
   4. Persaingan ras : merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Hal ini disebabkan krn ciri-ciri badaniyah terlihat dibanding unsur-unsur kebudayaan lainnya.

Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai beberapa fungsi :

   1. Menyalrkan keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif
   2. Sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa medapat pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
   3. Sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial. Persaingan berfungsi untuk mendudukan individu pada kedudukan serta peranan yang sesuai dengan kemampuannya.
   4. Sebagai alat menyaring para warga golongan karya (”fungsional”)

Hasil suatu persaingan terkait erat dengan pelbagai faktor berikut ini ”

   1. Kerpibadian seseorang
   2. Kemajuan : Persaingan akan mendorong seseorang untuk bekerja keras dan memberikan sahamnya untuk pembangunan masyarakat.
   3. Solidaritas kelompok : Persaingan yang jujur akan menyebabkan para individu akan saling menyesuaikan diri dalam hubungan-hubungan sosialnya hingga tercapai keserasian.
   4. Disorganisasi : Perubahan yang terjadi terlalu cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan disorganisasi pada struktur sosial.

Kontraversi (Contravetion)

Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontraversi menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 5 :

   1. yang umum meliputi perbuatan seperti penolakan, keenganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguang-gangguan, kekerasan, pengacauan rencana
   2. yang sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebaran, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian pada pihak lain, dst.
   3. yang intensif, penghasutan, menyebarkan desas desus yang mengecewakan pihak lain
   4. yang rahasia, mengumumkan rahasian orang, berkhianat.
   5. yang taktis, mengejutkan lawan, mengganggu dan membingungkan pihak lain.

Contoh lain adalah memaksa pihak lain menyesuaikan diri dengan kekerasan, provokasi, intimidasi, dst.

Menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 3 tipe umum kontravensi :

   1. Kontraversi generasi masyarakat : lazim terjadi terutama pada zaman yang sudah mengalami perubahan yang sangat cepat
   2. Kontraversi seks : menyangkut hubungan suami dengan istri dalam keluarga.
   3. Kontraversi Parlementer : hubungan antara golongan mayoritas dengan golongan minoritas dalam masyarakat.baik yang menyangkut hubungan mereka di dalam lembaga legislatif, keagamaan, pendidikan, dst.

Tipe Kontravensi :

   1. Kontravensi antarmasyarakat setempat, mempunyai dua bentuk :
         1. Kontavensi antarmasyarakat setempat yang berlainan (intracommunity struggle)
         2. Kontravensi antar golongan-golongan dalam satu masyarakat setempat (intercommunity struggle)

   1. Antagonisme keagamaan
   2. Kontravensi Intelektual : sikap meninggikan diri dari mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi atau sebaliknya
   3. Oposisi moral : erat hubungannya dengan kebudayaan.

Pertentangan (Pertikaian atau conflict)

Pribadi maupun kelompok menydari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.

Sebab musabab pertentangan adalah :

   1. Perbedaan antara individu
   2. Perbedaan kebudayaan
   3. perbedaan kepentingan
   4. perubahan sosial.

Pertentangan dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang sebelumnya telah tercapai.

Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus:

   1. Pertentangan pribadi
   2. Pertentangan Rasial : dalam hal ini para pihak akan menyadari betapa adanya perbedaan antara mereka yang menimbulkan pertentangan
   3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial : disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan
   4. Pertentangan politik : menyangkut baik antara golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat
   5. Pertentangan yang bersifat internasional : disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara

Akibat-akibat bentuk pertentangan

   1. Tambahnya solidaritas in-group
   2. Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut.
   3. Perubahan kepribadian para individu
   4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia
   5. Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak

Baik persaingan maupun pertentangan merupakan bentuk-bentuk proses sosial disosiatif yang terdapat pada setiap masyarakat.

Pengertian TEKNIK SAMPLING

 

Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.

 

 

Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk

Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .

Populasi atau universe adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk tertentu, maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya adalah keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi pegawai di departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di departemen “A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi “Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”

 

Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30 laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur atau elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu 500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.

 

 

Syarat sampel yang baik

Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.

Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.

Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis

Contoh systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D. Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.

Setelah diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili, padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut. Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).

Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk “X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.

Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (s), makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.

Ukuran sampel

Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.

Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable).

Misalnya, jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.

Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).

Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :

1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen

2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30

3. Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.

4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.

Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)

 

Populasi (N)

Sampel (n)

Populasi (N)

Sampel (n)

Populasi (N)

Sampel (n)

10

10

220

140

1200

291

15

14

230

144

1300

297

20

19

240

148

1400

302

25

24

250

152

1500

306

30

28

260

155

1600

310

35

32

270

159

1700

313

40

36

280

162

1800

317

45

40

290

165

1900

320

50

44

300

169

2000

322

55

48

320

175

2200

327

60

52

340

181

2400

331

65

56

360

186

2600

335

70

59

380

191

2800

338

75

63

400

196

3000

341

80

66

420

201

3500

346

85

70

440

205

4000

351

90

73

460

210

4500

354

95

76

480

214

5000

357

100

80

500

217

6000

361

110

86

550

226

7000

364

120

92

600

234

8000

367

130

97

650

242

9000

368

140

103

700

248

10000

370

150

108

750

254

15000

375

160

113

800

260

20000

377

170

118

850

265

30000

379

180

123

900

269

40000

380

190

127

950

274

50000

381

200

132

1000

278

75000

382

210

136

1100

285

1000000

384

 

 

Sebagai informasi lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500, tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini dapat dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second Edition)

 

 

Teknik-teknik pengambilan sampel

Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).

Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the botol.

Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling

 

 

Probability/Random Sampling.

Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.

Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

 

  1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana

Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :

    1. Susun “sampling frame”
    2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
    3. Tentukan alat pemilihan sampel
    4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi

 

  1. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan

Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :

    1. Siapkan “sampling frame”
    2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
    3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
    4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.

Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.

Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.

 

  1. Cluster Sampling atau Sampel Gugus

Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :

1. Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.

2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel

3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak

4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample

 

 

4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis

Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”. Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :

5. Susun sampling frame

6. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil

7. Tentukan K (kelas interval)

8. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.

9. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.

10. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

 

4. Area Sampling atau Sampel Wilayah

Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :

1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.

2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)

3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.

4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.

5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

 

Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak

Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.

1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.

Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.

 

2. Purposive Sampling

Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.

Judgment Sampling

Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.

Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).

Quota Sampling

Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.

Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.

 

3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju

Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)

 

Pengertian Populasi dan Sampel

A. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh objek/subjek itu.

Misalnya akan melakukan penelitian di sekolah X, maka sekolah X ini merupakan populasi. Sekolah X mempunyai sejumlah orang/subyek dan obyek yang lain. Hal ini berarti populasi dalam arti jumlah/kuantitas. Tetapi sekolah X juga mempunyai karakteristik orang-orangnya, misalnya motivasi kedanya, disiplin kedanya, kepemimpinannya, iklim organisasinya dan lain-lain; dan juga mempunyai karakteristik obyek  yang lain, misalnya kebijakan, prosedur keiJa, tata rangkelas, lulusan yang dihasilkan dan lain-lain, Yang terakhir berarti populasi dalam arti karakteristik.

Satu orang-pun dapat digunakan sebagai populasi, karena sate brang itu mempunyai berbagai karakteristik, misalnya gaga bicaranya, disiplin pribadi, hobi, cara bergaul, kepemimpinannya dan lain-lain. Misalnya akan melakukan penelitian tentang kepemimpinan presiden Y maka kepemimpinan itu merupakan sampel dari semua karakteristik yang dimiliki presiden Y.

Dalam bidang kedokteran, satu orang sering bertindak sebagai populasi. Darah yang ada pada setiap orang adalah populasi, kalau,akan diperiksa cukup diambil sebagian darah yang berupa sampel. Data yang diteliti dari sampel tersebut selanjutnya dibertakukan ke seluruh darah yang dimiliki orang tersebut.

 

B. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu. kesimpulannya akan dapat diberlakukan populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).

Bila sampel tidak representatif, maka ibarat orang buta disuruh menyimpulkan karakteristik gajah. Satu orang memegang telinga gajah, maka la menyimpulkan gajah itu seperti kipas. Orang kedua memegang badan gajah, maka ia menyimpulkan gajah itu seperti tembok besar. Satu orang lagi memegang ekornya, maka la menyimpulkan gajah itu kecil seperti seutas tali. Begitulah kalau sampel yang dipilih tidak representatif, maka ibarat 3 orang buta itu yang membuat kesimpulan salah tentang gajah.

 

Profesionalisme tentang Operasional Konsep

Katakanlah Anda akan meneliti tentang profesionalisme guru. Pertama-tama yang harus terpikirkan oleh Anda adalah apa yang dimaksudkan dengan profesionalisme itu, sebab bisa jadi yang Anda maui (pahami) dengan menyebut istilah itu, tidak sama dengan yang dipahami orang lain. Perbedaan itu akan membuat kesulitan komunikasi dalam penelitian, termasuk mengkomunikasikan hasil penelitian Anda, nantinya. Beda pemahaman tentang sesuatu, akan menyebabkan salah pengertian (bahasa kerennya misunderstanding) dan gagal komunikasi, seperti dalam anekdot sangat populer berikut.

***

“Budak Sunda” ketemu “Bocah Jowo.” Kebetulan bersaudara sih, anak kakak-adik, tetapi yang satu tinggal di Jogja, yang lainnya tinggal di Majalengka, sebelah barat Gunung Ciremay, bukan Cicalengka, Bandung,  gitu. [Maja lengka itu artinya maja pahit; lengka (leng dalam lengkap) bahasa Jawa kuno, halusnya lengkit. Kerajaan Majapahit dalam babad suka disebut juga Majalengka].

“Bocah Jogma” (wong Jogja asli Majalengka) itu mudik, ceriteranya, dan ketemulah mereka di Majalengka, di desanya yang di gunung sih, bukan di Majalengka yang dataran rendah. Eh, lupa, Cah Jogja itu “teu bisaeun” (gak bisa) basa Sunda. Bahasa Indonesia saja gak lancar, wong sehari-hari pakai boso Jowo, je, tur masih SD kelas I. Kerabatnya, barudak Sunda, gak juga padabisa bahasa Indonesia, masih SD dan TK, apalagi boso Jowo. Blas.
Bocah Jogja tuh rada gede dibanding “barudak” Majalengka. Cah Jogja pingin menikmati suasana desa, jadi ngajak duduluran Sundanya jalan-jalan ke sawah, ke sawah Embah (Aki) mereka. Di Jogja gak punya sawah, sih. Mereka berjalan melewati pematang dan parit-parit, selokan irigasi.

Saat melewati selokan itu ada sesuatu yang berkecipak masuk ke dalam lubang yang rimbun terhalangi rerumputan. Cah Jogja melihat ada ikan, ikan lele, masuk ke lubang itu.

Lele, lele! Kae lho ono lele mlebu leng,” kata si Bocah Jogja, sambil menunjuk-tunjuk ke arah lubang tempat ikan lele masuk.

“Sok kodok, atuh!,” timpal Budak Sunda, menyuruh Cah Jogja yang lebih gede itu “ngodok” (merogoh) lubang, menangkap ikannya. Kalau anak gede kan mestinya lebih berani, gitu pikir anak Majalengka.  Barudak (anak-anak) Sunda takut, kalau-kalau ada ular.
Mendengar kata kodok-kodok begitu (kata-kata lainnya gak mudeng alias gak ngerti), Cah Jogja bingung, masak lele dibilangin kodok.

 

Kae ki lele. Sing mlebu leng ki lele!” Sambutnya ngotot, menegaskan yang masuk lubang itu ikan lele, bukan kodok, sambil nunjuk-nunjuk lubang

Barudak Sunda bingung dengan ucapan Cah Jogja. Tapi pokoknya ada kata lele, gitu, jadi langsung padajawab, “Nya enya sok atuh kodok!” (Ya iya, makanya cepetan rogoh lubangnya) timpal Budak Sunda, paham kalau yang disebut-sebut itu memang lele, ikan lele, jadi bagus kalau “dikodok” (dirogoh).

Cah Jogja tambah bingung. Kok kodok lagi kodok lagi. Padahal itu lele.

“Ye. . . piye tho, kok kodok maneh, kodok, maneh. Kandani lele, kodok, kodok wae. Embuh, ah!” (Gimana sih, dibilangin lele, kodok lagi, kodok lagi. Udah, ah, tahu!), jawab Cah Jogja sambil ngeloyor pergi jalan terus menuju sawah.

Barudak Sunda “molohok ngembang kadu” (melongo terlongong-longong). Lalu, sambil bingung, nuturkeun (ngikut) berjalan di belakang Cah Jogja.

***

Konsep

Lele dan kodok itu keduanya konsep. Konsep (kata) lele dipahami sama, baik oleh Urang Sunda, maupun Wong Jogja. Tetapi konsep (kata) kodok menjadi tidak sama pahamnya. Wong Jogja pahamnya kodok itu katak, Urang Sunda mengertinya rogoh (memasukkan tangan ke dalam lubang). Itulah ceritera mengapa sesuatu konsep (kata, istilah) dalam penelitian harus dipertegas maknanya (dibatasi atau didefinisikan pengertiannya).

Nah, mari kita lanjut dengan bahasan kita tentang profesionalisme.

Kata “profesionalisme” dalam bahasa metodologi penelitian lazim disebut sebagai sebuah konsep (concept). Hati-hati, istilah concept jangan dikisruhkan pula dengan draft. Kenapa? Karena dalam keseharian istilah konsep kerap dipakai dalam kalimat seperti, “Konsep suratnya sudah dibuat?” Atau, “Wah, maaf, saya belum sempat mengonsep naskah sambutannya.”

Konsep dalam dua kalimat contoh di atas bahasa Inggrisnya draft, bukan concept. Bahasa Indonesianya buram. Bahasa gaulnya “oret-oretan.” Membuat konsep sama makna dengan membuat buram atau oret-oretan. Dulu, sebelum masa komputer, sebelum mengetik dengan mesin tik dengan kertas HVS, konsep biasa dibuat pada kertas buram, karena kertas buram fungsinya memang untuk oret-oretan (membuat draft), bukan untuk menulis yang sebenarnya. Konsep (concept) dalam bahasa metodologi penelitian sebenarnya kata atau kata-kata (frasa) yang dapat disebut juga sebagai istilah.

Cobalah Anda gambarkan apa yang terbayang di kepala Anda jika saya menyebutkan kata (istilah, sebutan) “orang,” lalu “orang utan, ” lalu “orang hutan.” Ada sesuatu sosok yang terbayang di kepala Anda berkenaan dengan ketiga istilah, sebutan, atau kata itu, kecuali mungkin kata kedua dan ketiga. Orang, tentu Anda sudah bisa membayangkan sosoknya seperti apa, termasuk sosok Anda sendiri. Orang utan, rasanya pasti dalam kepala Anda ada “bayangan” (kesan) tentang sejenis kera. Orang hutan, nah ini baru masalah. Mungkin Anda membayangkan sama dengan orang utan, mungkin terbayang sosok seperti kita (orang juga) yang tinggal di hutan (seperti sebutan untuk orang desa atau orang kota). Orang, orang utan, dan orang hutan itu ketiganya disebut sebagai konsep (concept), sesuatu sebutan yang “mewakili” keberadaan sosok yang nyata ada dalam kehidupan, tetapi tidak terkait dengan sesuatu sosok tertentu.

Berkanaan dengan ini lalu concept biasa didefinisikan sebagai sesuatu istilah (term) yang merupakan abstraksi dari sesuatu kenyataan (realita). “Abstraksi” itu bahasa Indonesianya pengabstrakan, yaitu pengabstrakan (menjadikannya  abstrak) sesuatu (realita) yang nyata “terlihat.” Yang diabstrakkan itu tentu berupa benda-benda konkrit, yang “terlihat” (termasuk terasa, teraba, terdengar, terbayang, terkesan, terpikir dsb).

Jadi, tidak semua kata merupakan konsep. Konsep berkaitan dengan benda-benda, baik benda konkrit, benda abstrak, maupun “benda konseptul”. Benda konkrit misalnya orang, kambing, jambu, dan air. Benda abstrak (gaib) misalnya jin, setan, malaikat, dewa. Benda abstrak-konseptual misalnya ketaatan, kekecewaan, frustrasi, agresif, motivasi, dan efisiensi.

Konsep bersifat umum dan abstrak. Universitas adalah konsep yang sangat abstrak. Universitas negeri, konsep lain yang agak konkrit, tetapi tetap masih abstrak, belum menunjuk universitas negeri yang manapun. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) konkrit (ada barangnya, ada bendanya). UNY pun masih konsep juga, kendati konsep yang nuansanya konkrit, tertentu. UNY memang nama sesuatu yang nyata, yang ril. Akan tetapi, seperti apa UNY itu, tak konkrit. Yang tampak cuma bangunan dan lokasi kampus UNY serta orang-orang yang sibuk dan serius bertridharma PT di dalamnya. Nah, ketika kita bicara kampus UNY barulah muncul sesuatu yang konkrit, seperti kalau Anda bertemu saya di UNY. Saya, yang bernama Tatang M. Amirin, benda konkrit, bukan konsep abstrak.

Di kepala kita ada “konsep” (idea–awas, bukan buah pikiran, tentang) ikan, sehingga tidak seorang pun dari kita yang tidak akan menyebut gambar berikut paling atas  dan tengah bukan sebagai ikan (pasti menyebutnya sebagai ikan), padahal cuma garis lengkung-lengkung (gambar kiri atas) , padahal cuma “ceprik-ceprik duri-duri tajam” (gambar kanan  atas), hatta yang agak rumit berupa vignet sekalipun (gambar tengah). Padahal itu berbeda sama sekali dengan yang benar-benar ikan seperti  “ikan pacaran” pada gambar (foto) paling bawah.

 

 

 

Perhatikan pula anak kecil. Ia punya konsep tentang kucing di kepalanya. Maka, ketika ia bertemu dengan seekor binatang yang lewat di depannya, ia akan menyebut binatang itu dengan kucing, karena yang lewat itu sama benar dengan konsep kucing yang ada di kepalanya. Bisa jadi, ketika ia ke kebun binatang dan melihat harimau (macan), ia pun akan menyebut binatang itu dengan kucing, karena “konsep” harimau belum ada di kepalanya, baru ada “konsep” kucing.

Orang-orang menyebut semua pisau “silet,” apapun mereknya (Goal, Tatra, Tiger) dengan silet (gilette), karena pisau ciptaan Pak Gilette yang sosoknya seperti itulah yang pertama kali muncul. Sama dengan “orang Jawa” yang suka menyebut semua orang “Barat” dengan “Londo,” sehingga ada Londo Inggris, ada Londo Australia, ada Londo Amerika, walaupun londo itu asalnya sebutan untuk orang Belanda. Yang asli Belanda disebut “Londo Belanda” (?). Belanda saja dari Holland.

Jika dalam contoh di atas ada anak kecil menyebut harimau dengan kucing, tidak mustahil ketika dosen metodologi penelitian menyebut konsep “subjek penelitian”, dalam kepala mahasiswa terbayang seperti “subjek kalimat” dalam kalimat “Dosen mengajari mahasiswa melakukan penelitian” (dosen subjek, mengajari predikat, dst). Jadi, subjek penelitian adalah orang yang melakukan penelitian. Tentu saja itu salah, seperti kesalahan anak kecil menyebut harimau dengan kucing. [Sila baca makna subjek penelitian dalam tulisan Penulis di dalam blog ini juga].

Biar agak nyambung sedikit, subjek penelitian adalah sesuatu, bisa orang, benda, atau lembaga, yang sifat dan atau keadaannya alias “attributes”-nya akan diteliti. Misalnya: (1) benda: kuantitasnya, kualitasnya, teksturnya, daya tariknya; (2) orang: sikapnya, perilakunya, pendapat atau wawasannya, kemampuannya, loyalitasnya, kedisiplinannya; (3) lembaga: (a) organisasi: sistem pengelolaannya, iklim organisasinya, efektivitas layanan publiknya, ketercukupan fasilitasnya, dinamikanya; (b) pranata sosial: prosesnya, makna-makna simbolisnya, sejarah asal usulnya.

Konstruk (Construct)

Istilah konsep kadang kala disebut juga konstruk (construct). Keduanya sebenarnya sama saja. Hanya kadang-kadang suka dibedakan, yaitu sebutan kontruk dikhususkan pada sesuatu yang bisa diukur-ukur (ditimbang, dihitung dsb). Dalam bahasan tentang penyusunan instrumen penelitian (baca: instrumen pengumpulan data dengan “teknik tes dan pengukuran”) suka ditemukan istilah validitas konstruk [construct validity, kesahihan (kebenaran) berlandas makna hakiki konstruk atau konsep]. Itu maksudnya yang “digambarkan” –dalam bentuk “definisi operasional” tentang konsep/konstruk itu benar atau tepat.  “Construct validity refers to the degree to which inferences can legitimately be made from the operationalizations in your study to the theoretical constructs on which those operationalizations were based.” (Research Method Knowledge Base–online).

Ambil contoh konsep/konstruk “partisipasi masyarakat.” Apa makna hakliki partisipasi itu? Partisipasi masyarakat itu yang “take part” atau yang “involve.”  Take part (asmbil bagian) artinya benar-benar melakukan peran tertentu (lihat definisi peran di bawah). Involve (terlibat) artinya terlibat, tetapi tidak pegang peranan. Jika orang tua murid ikut membicarakan bagaimana sekolah akan dikembangkan, ikut merencanakan program pengembangan sekolah, ikut melaksanakan program, ikut memonitor dan mengevaluasi program, itu namanya berperan serta (berpartisipasi). Jika orang tua membantu menyumbang uang untuk mengembangkan sekolah, itu artinya orang tua terlibat dalam pengembangan sekolah, tapi tidak ikut berpartisipasi (take part).

Ambil contoh ekstrim Mr.  Saddish dan Mr.  Qjamm membunuh Ms. Devique Boongama Lamkhary.  Pembunuhan dengan menggunakan golok Mr. Goobanc. Yang membunuh Mr. Saddish. Mr. Qjamm “mengamankan” mayat Devique. Yang beperan serta dalam pembunuhan itu Mr Saddish dan Mr. Qjamm. Akan tetapi, menurut versi “the policeman,” Biasanya Mr. Goobanc dianggap terlibat (involved), karena meminjamkan goloknya (sengaja atau tidak).

Nah, dengan makna hakiki partisipasi seperti itu, maka jika yang tergali dalam (oleh) penelitian hanya keterlibatan (involvement) saja, itu artinya datanya tidak valid sesuai hakekat konstruknya. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa “instrumen” untuk menggali data itu tidak memenuhi syarat validitas konstruk. Jadi, akhirnya, datanya “bias” (menyimpang dari yang sebenar-benarnya, alias salah, alias tidak sahih–shahih, bahasa Arab, artinya benar atau betul).

Pendefinisian Konsep

Analog (berkias) pada kemungkinan akan terjadi kesalahtangkapan makna (misunderstanding) serupa itu dalam penelitian, maka seseorang yang akan melakukan penelitian dituntut untuk memperjelas mempertegas konsep-konsep penting (tidak setiap kata atau konsep) yang ada di dalam “topik penelitiannya” (lazim tercermin dalam judul–kalimat judul penelitian). Kenapa? Karena penelitian yang dilakukan seseorang akan memunculkan “komunikasi” dengan banyak pihak. Dalam komunikasi itu haruslah kedua belah pihak sama makna dalam memahami konsep-konsep yang muncul ke permukaan penelitian.

Contoh:

Di Yogyakarta dan sekitarnya dikenal ada tradisi “nyadran.” Kayaknya istilah ini berasal dari istilah hadharahan (tulisan lama hadlarahan; baca: hadorohan) atau  hadhran (hadlran; baca: hadran), yaitu kenduren yang lazimnya didahului doa “kaum” yang diawali ucapan “ila hadharati” (baca: ila hadoroti) atau “ila hadhrati” (baca: ila hadroti) . . . al-Fatihah. Karena ada kata “ila hadharati” (atau “ila hadhrati”) itu maka sebutan terhadap pembacaan keseluruhan bacaan tersebut bisa (suka-suka) disingkat menjadi hadoroh atau hadroh. Misalnya menjadi kalimat ajakan (di desa saya waktu kecil lazim ada istilah dimaskud), “Mari kita hadoroh dulu!” Itu artinya mengajak semua melakukan acara “mengirim al-Fatihah ke hadhoroh  atau “hadroh” ( seseorang yang dimuliakan). Dari sebutan “hadoroh” atau “hadroh” itu, kegiatan melakukan seluruh rangkaian acara “berhadoroh/berhadroh” itu disebutlah dengan “hadorohan” atau “hadrohan” yang luluh menjadi “hadran,” dan kemudian menjadi “nyadran.”

Kenduren ini dilakukan pada bulan Rewah, sehingga suka juga disebut jadi “rewahan” alias “ngarwahi,” yaitu mengirim dua kepada para arwah, leluhur, utamanya yang dianggap mulia  atau “al-hadhrat” [= “al-hadrah”; dalam tulisan lain ditulis “al-hazrat atau al-hazhrat) sebelum puasa.

Menurut Zoetmulder, nyadran merupakan peringatan meinggalnya seorang raja Majapahit, ketika itu Tri Buwana Tungga Dewi, disebut sradha (dari kata sradha muncul istilah  sradhaan yang lalu jadi nyadran). Oleh wali tradisi “ziarah” kubur raja itu diisi nilai-nilai Islami. Wallahu a’lam mana yang benar (Kenapa bulan Rewah?).

Istilah nyadran ini jika dibawa ke daerah tertentu di Banjarnegara, Jawa Tengah utara-barat, bukan Banjar Ciamis (menurut mahasiswa saya pada Prodi PGSD FIP UNY) akan dipahami lain, karena nyadran di Banjarnegara itu merupakan kenduri sebelum pernikahan dan setelah pernikahan seseorang diselenggarakan.

Itu contoh soal jika, misalnya, ada yang akan meneliti asal-usul tradisi nyadran di Indonesia. Nyadran versi yang mana? Jogja-Solo atau Banjarnegara?

Kembali ke awal. Jadi, istilah (konsep) profesionalisme yang akan diteliti itu haruslah jelas dan tegas benar maksud maknanya apa. Harus dibatasi pengertiannya. Dibatasi, maksudnya dipertegas maknanya, seperti jika orang mempertegas batas-batas tanah miliknya, sehingga jika ia mengatakan “tanah saya,” jelas yang dimaksud tanah yang itu, bukan yang lainnya (yang lainnya punya orang lain).

Itulah sebabnya penegasan makna atau pengertian tersebut diistilahkan dengan batasan pengertian (bahasa Inggrisnya definition). To define salah satu maknanya adalah “to state exactly the meaning of a word or phrase” (menyatakan secara tegas makna sesuatu kata atau frasa). Makna lainnya adalah “to show a line, a shape, a feature, an outline etc. clearly” (menunjukkan secara jelas tegas sesuatu garis batas, suatu bentuk, suatu sosok, suatu kerangka garis besar, dsb).

Ambil contoh yang paling mudah, agar tidak perlu merunut menelusur ke literatur. Yang akan diteliti mengenai prestasi belajar. Apa arti (makna) prestasi belajar itu? Arti secara umum adalah keberhasilan belajar atau hasil belajar. Masih ada pertanyaan. Apa arti (makna) belajar? Belajar apa, belajar di mana?

Mari kita contohkan begini:

Budi, murid SD kelas IV, pintar sekali menganyam bambu. Belajar di mana ia? Di rumah, diajari (sekaligus membantu) ayahnya yang sehari-hari pekerjaannya menganyam bambu. Apakah hasil belajar Budi akan termasuk yang diteliti? Tidak? Hanya yang diajarkan dan dipelajari di sekolah saja? Nah, tampak benar kan perlunya ada batasan pengertian prestasi belajar itu? [Ingat contoh di muka: Itu “tanah saya”, yang itu “bukan tanah saya”. Ini lho batas-batasnya! Sama-sama “tanah” tapi ada “tanah saya” dan ada “tanah orang lain”. Jadi,  sama-sama prestasi atau hasil belajar, tetapi ada “di/dari sekolah” dan “di/dari luar sekolah.”]

Masih ada pertanyaan lanjut. Setelah diajari guru agama (ustad), Budi “pintar” sembahyang. Pada saat ujian, Budi ditanya macam-macam “hapalan” pelajaran agama. Budi tidak bisa menjawab dengan baik. Nilai (prestasi belajar) Budi jadinya rendah. Padahal Budi “pintar” solat, puasa, wiridan, doa, azan, qomat dll. Prestasi belajar yang mana yang hendak diteliti?

Definisi Operasional Konsep

Nah, batasan pengertian (definisi) konsep belajar (prestasi belajar) itu jadinya harus “dioperasionalkan” lebih tegas. Operasional artinya jika akan diukur, aspek-aspek, sisi-sisi apa saja yang harus tercakup ke dalam konsep belajar (prestasi belajar) itu agar mudah diteliti (diukur). Dengan kata lain, apa saja yang menjadi “tanda-tanda” (indikator) pengukur konsep itu. Ingat, ini berkaitan dengan penelitian yang dalam menghimpun datanya menggunakan ukuran-ukuran. Dalam bahasa metodologi penelitian sering dikaitkan dengan penelitian kuantiatif-positivistik (yang suka memandang segala sesutu bisa diukur atau harus bisa diukur).

Sebentar! Diukur itu maksudnya apa? Tinggi tubuh diukur dengan meteran. Berat badan diukur dengan timbangan. Isi tangki bensin diukur dengan literan. “Daya terang” bola lampu “diukur” dengan “watt.” Kecepatan laju kapal “diukur” dengan “knot.” Itu sehari-hari yang kita tahu. “Kepahaman” murid akan materi pelajaran yang sudah diajarkan dan dipelajari “diukur” dengan tes (ujian, ulangan). Lalu, bagaimana “mengukur” yang lainnya?

Disusun oranglah berbagai alat ukur. Kecerdasan diukur dengan “alat tes”, antara lain yang dibuat oleh Binet dan Simon. Ada pula alat ukur yang disebut dengan Tes Potensi Akademik (TPA). Sikap, yaitu pro-kontra, setuju-tidak setuju, simpati-antipati terhadap sesuatu yang melibatkan unsur emosi subjetif seseorang; misalnya sikap “orang tua” Amerika Serikat terhadap pengiriman “anak-anaknya” ke negara-negara yang dianggap tidak demokratis menurut kaca mata “pemimpin” Amerika, “diukur” dengan skala sikap, misalnya dengan model Likert.

Kembali ke definisi operasional. Kita bicarakan bagaimana merumuskan definisi operasional.

Coba kita beri contoh dengan memikirkan apa tanda-tanda seseorang mahasiswa dikatakan “rajin belajar.” Apa saja yang menjadi “ukuran” rajin belajar itu? Pertama, deskripsikan dulu apa saja kegiatan yang termasuk belajar itu (mengikuti kuliah, membaca bahan kuliah, mengerjakan tugas, berdiskusi dengan teman, atau apalagi?). Setelah itu cari tanda (ukuran, indikator) kerajinan (belajar) dari setiap deskriptor tadi. Jadi, ada rajin mengikuti kuliah (tanda atau indikatornya?), ada rajin membaca bahan kuliah (tanda atau indikatornya?) dan seterusnya. Jangan lupa, dalam setiap deskriptor itu tentu ada subdeskriptornya. Mengikuti kuliah (salah satu deskriptor belajar) mengandung sub kegiatan, misalnya, mengikuti presentasi dosen, mengikuti diskusi kelas (jika ada), mengerjakan tugas kelas (jika ada), menyusun makalah untuk diskusi kelas dan mepresentasikannya (jika ada).

Jadi, kerajinan belajar mahasiswa adalah kekerapan seseorang mahasiswa hadir di kelas mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas-tugas kelas, kekerapan membaca literatur yang terkait dengan perkuliahan, kekerapan dan kesungguhan mengerjakan tugas-tugas kuliah . . . (dst.).

Contoh di atas merupakan contoh definisi operasional. Definisi operasional konsep adalah definisi (batasan pengertian) sesuatu konsep yang mengandung kejelasan dan ketegasan mengenai deskriptor (aspek-aspek yang terkandung atau tercakup) dan indikator (tanda-tanda keberagaman atau variabilitas) konsep yang akan diteliti itu, yang terukur (bisa dan mudah diukur).

Penelitian yang tidak akan mengukur-ukur tentu tidak memerlukan adanya definisi operasional. Penelitian eksploratori (eksploratif), misalnya, karena tidak mulai dari konsep yang harus diukur-ukur, tidak memerlukannya. Justru dapat terjadi dari penelitian eksploratif (penggalian) tersebut akan tergali dan termunculkan sesuatu konsep baru yang sama sekali sebelumnya belum diketahui, disertai (berdasarkan) deskriptor atau indikatornya yang juga muncul dari penelitian lapangan, bukan dari “kepala” peneliti sebelum melakukan penelitian eksploratif tersebut.

Contoh:

Seperti apakah bunga Raflesia Arnoldi sebelum ditemukan oleh Arnold dan Rafles? Tak ada yang tahu. Nama itu saja pun untuk menyebut bunga bangkai itu tak ada. Setelah itu barulah orang bisa “menemukan” bunga-bunga raflesia arnoldi di beberapa tempat dan menyebutnya sebagai bunga raflesia arnoldi berdasarkan sifat-sifatnya yang sesuai dengan sifat-sifat bunga raflesia arnoldi (paling awal ditemukan).

Berikut ini contoh definisi operasional yang sangat sederhana (singkat) karena tidak memerlukan deskriptor yang banyak):

Kontak orang tua dengan anak-anaknya adalah kekerapan pertemuan tatap muka orang tua dengan anak-anaknya yang diukur dengan hitungan menit pertemuan. [Sila baca tulisan “Penelitian Kualitatif Penggalian-Hipotesis . . .” dalam blog ini!]

Nah, kita coba dengan konsep profesionalisme. Oh, ya, sebelum lanjut, definisi operasional tidak (jangan) mengutip definisi yang ada di buku-buku pelajaran (textbook), karena yang ada di sana lazimnya berupa definisi konseptual (seperti akan dibicarakan di bawah), melainkan–kalu perlu rujukan–dari penelitian-penelitian yang sudah ada.

Profesionalisme atau keprofesionalan adalah tinggi-rendahnya pemilikan pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk dan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatan yang harus dilakukan seseorang dalam profesi tertentu.

Profesionalisme guru adalah tinggi-rendahnya pemilikan pengetahuan, kecakapan, dan etika untuk dan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatan keguruan, yang mencakup nilai-nilai kepribadian yang luhur, bidang ilmu yang akan diajarkan, metodologi pengajaran/pendidikan (pedagogi), manajemen pengajaran/pendidikan, dan etika profesi keguruan.

Nah, ketahuan sekarang, alangkah susahnya untuk “mengukur” profesionalisme seorang guru. Harus pakai tes (pengetahuan) dan observasi (kinerja cerminan kecakapan).

Definisi Konseptual Konsep

Dalam beberapa jenis penelitian, definisi yang diperlukan cukup berupa definisi konseptual, yaitu penegasan penjelasan sesuatu konsep dengan mempergunakan konsep-konsep (kata-kata) lagi, yang tidak harus menunjukkan sisi-sisi (dimensi) pengukuran (tanpa menunjukkan deskriptor dan indikatornya dan bagaimana mengukurnya ).

“Prestasi belajar merupakan segala bentuk keberhasilan dari mengikuti atau melakukan kegiatan belajar,” merupakan contoh definisi konseptual. Ada konsep “keberhasilan belajar” dan “mengikuti/melakukan kegiatan belajar” yang dipakai untuk menjelaskan dan menegaskan makna prestasi belajar. Belum (tidak ada) deskriptor dan indikator bagi kedua konsep tersebut, sehingga, jika akan diukur tidak jelas apanya yang akan diukur. Seperti telah dijelaskan, yang diukur tentu “ukuran”, misalnya ketinggian: tinggi – rendah; kebesaran: besar – kecil: “kebanyakan”: banyak – sedikit; kekerapan: sering – tidak pernah; “kesetujuan”: sangat setuju – sama sekali tidak setuju. Namun demikian, pendefinisian secara konseptual tersebut sudah memberi makna mengenai apa yang dimaksud dengan prestasi belajar.

Definisi konseptual diperlukan dalam penelitian karena definisi itu akan mempertegas apa yang akan diteliti. Sekali lagi, terkecuali pada penelitian yang benar-benar besifat eksploratif, yang konsepnya saja pun belum terketahui, sehingga tidak mungkin mendefinisikannya terlebih dahulu, karena konsepnya saja pun belum tergali. Penelitian model ini (murni eksploratif) mungkin amat sangat jarang terjadi (Karena amat jarang yang melakukan seperti itu? Bisa jadi! Termasuk saya, hehe . . . )

Kapan Konseptual, Kapan Operasional

Judul penelitian yang berbunyi “Efektivitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) di Kabupaten Majalengka,” misalnya, mengandung konsep (istilah) yang bersifat “variabel” (mengandung keragaman “nilai” tinggi – rendah), yaitu efektivitas (sangat efektif vs tidak efektif sama sekali). Menelitinya tentu harus dengan mengukurnya (seberapa tinggi tingkat efektivitasnya). Oleh karenanya harus didefinisikan secara operasional konsep (yang berupa frasa) “efektivitas pelaksanaan MBS” itu maknanya apa. Sekali lagi, mulailah dari deskriptornya: deskriptor pelaksanaan MBS itu apa saja (misalnya keleluasaan sekolah untuk mengatur sendiri, keterlibatan masyarakat, dsb.), dan indikator (indikator efektivitas) dari tiap deskriptor itu apa.

Penelitian yang berjudul “Pendapat masyarakat mengenai peran masyarakat dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah” tidak memerlukan definisi operasional, karena “pendapat” tidak bisa dan tidak untuk diukur. Cukup dirumuskan definisi konseptual mengenai konsep (istilah) pelaksanaan MBS saja. Kata (kosep) “pendapat masyarakat” tidak perlu didefinisikan. Yang perlu dipertegas (bukan didefinisikan) hanya mengenai yang dimaksud dengan masyarakat itu siapa (semua orang–termasuk bayi-bayi yang baru lahir, orang dewasa, kepala rumah tangga, tokoh-tokoh formal dan informal?). tetapi, karena suka salah memaknai, pengertian peran (role) yang sering dimaknai sebagai andil atau sumbangan, perlu diperjelas (secara konseptual).

Iya deh, karena ada yang mengakses apa itu role, kita bahas sedikit. Gak apa kan, jadi panjang tulisan ini?!

Role itu artinya peran (sesuatu yang dilakonkan). Contoh: Tatang berperan sebagai (melakonkan sosok) Si Kabayan dalam “ketoprak nusantara multikultural UNY.” Jadi, Tatang memerankan tokoh (berakting sebagai) Si Kabayan. Role itu berati pula peranan (sesuatu “state” yang dilakukan untuk/dalam memberikan andil terhadap sesuatu). Perhatikan: ada andil atau sumbangan juga, sih! Misal: Tatang berperan sebagai penyandang dana pagelaran wayang golek dengan dalang Asep Sunarya untuk merehab bangunan SD Haurbuni (kayak iya-iyao punya duit, hehe . . .). Terlihat beda kan dengan ini: Tatang memberikan dana untuk merehab bangunan SD Haurbuni.

Definisi Operasional Variabel

Hampir sebagian besar penelitian kualitatif (studi kasus, grounded research, penelitian tindakan) tidak memerlukan definisi operasional, cukup definisi konseptual saja (itu pun bersifat tentatif, jika diperlukan).

Konsep yang perlu disusun definisi operasionalnya lazimnya konsep yang bersifat variabel, konsep yang mengandung sifat “kebervariasian” (keragaman) berjenjang (kontinum). Prestasi belajar, misalnya, merupakan variabel yang mengandung keragaman jenjang tinggi, sedang, rendah (Prestasi belajar tinggi, prestasi belajar sedang, prestasi belajar rendah). Motivasi belajar juga merupakan variabel yang mengandung sifat keragaman berjenjang (motivasi tinggi, sedang, rendah). Hati-hati: mengenai motivasi belajar ya jangan mengutip teori motivasi Maslow, Herzberg, Teori X dan Y! Cari di buku-buku Psikologi Pendidikan (jangan yang salah juga memaknainya! Hehe . . . Banyak yang suka salah, sih! Mari tanya Manguni Si Cendekia, haha!

 

Pengertian Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan tentative yang merupakan dugaan mengenai apa saja yang sedang kita amati dalam usaha untuk memahaminya
Fungsi hipotesis menurut Menurut Nasution ialah sebagai berikut :

  1. Untuk menguji kebenaran suatu teori,
  2. Memberikan gagasan baru untuk mengembangkan suatu teori dan
  3. Memperluas pengetahuan peneliti mengenai suatu gejala yang sedang dipelajari.

Asal dan Fungsi Hipotesis

  1. Hipoptesis dapat diturunkan dari teori yang berkaitan dengan masalah yang akan kita teliti. Jadi, Hipotesis tidak jatuh dari langit secara tiba-tiba!!!!!!
  2. Misalnya seorang peneliti akan melakukan penelitian mengenai harga suatu produk maka agar dapat menurunkan hipotesis yang baik, sebaiknya yang bersangkutan membaca teori mengenai penentuan harga.

 

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapay dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik.

Hipotesi adalah alat yang sangat besar kegunaannya dalam penyelidikan ilmiah. Hipotesis memungkinkan kita menghubungkan teori dengan pengamatan dan sebaliknya pengamatan dengan teori.

Hipotesis harus dibuat karena alasan sebagai berikut:

1).Hipotesis yang mempunyai dasar kuat menunjukkan bahwa penelitian telah mempunyai cukup pengetahuan untuk melakukan penelitian dibidang itu.

2).Hipotesis memberikan arah pada pengumpulan dan penafsiran data. Hipotesis dapat menunjukkan kepada peneliti prosedur apa yang harus diikuti dan jenis data apa yang harus dikumpulkan.Dengan demikian, dapat dicegah terbuang sia-sianya waktu dan jerih payah peneliti.

Semoga Pengertian Hipotesis ini dapat bermanfaat buat rekan-rekan sekalian. Terimakasih banyak

 

DEFINISI VARIABEL DAN PENGUKURANNYA

Pengertian variabel

Dalam bahasa sehari-hari, variabel penelitian sering diartikan sebagai ”faktor-faktor yang dikaji dalam penelitian”. Menurut konsep aslinya yang dimaksud variabel adalah konsep yang memiliki keragaman nilai. Meskipun demikian pemahaman yang mengartikan variabel sebagai faktor-faktor yang akan dikaji dalam penelitian juga dapat diterima mengingat bahwa kegiatan penelitian memang terpusat pada upaya memahami, mengukur, dan menilai keterkaitan antar variabel-variabel tersebut. Tentang hal ini perlu diperhatikan bahwa variabel penelitian bukanlah dikembangkan atau dirumuskan berdasarkan angan-angan atau intuisi peneliti, tetapi harus ditetapkan berdasarkan kajian pustaka. Itu juga berlaku pada penelitian Grounded maupun Penelitian Partisipatif.

Bedanya adalah dalam penelitian pada umumnya variabel lebih mengacu pada teori dan atau hasil-hasil penelitian yang telah biasa dilakukan tentang Topik atau Judul yang sama. Sedang dalam penelitian Grounded dan Partisipatif lebih mengacu pada data/fakta penagalaman empiris baik yang dilakukan oleh praktisi maupun para peneliti setempat.

RAGAM VARIABEL

a. Keragaman Variabel Menurut Kedudukan Atau Fungsinya

Dalam penelitian inferensial dibedakan adanya dua macam variabel utama yaitu variabel terpengaruh (dependent variabel) dan variabel pengaruh (independent variabel).

Variabel pengaruh adalah variabel yang keberadaanya dalam kerangka berpikir bersifat menentukan atau mempengaruhi variabel terpengaruh dan sebaliknya variabel terpengaruh adalah variabel yang keberadaanya senantiasa dipengaruhi atau tergantung pada tiap-tiap atau keseluruhan variabel-variabel pengaruh. Dengan kata lain ”nilai” variabel terpengaruh sangat dipengaruhi oleh besarnya nilai masing-masing atau keseluruhan variabel pengaruh yang terkait.

  1. Keragaman variabel menurut skala pengukurannya

Dilihat dari ragam skala pengukurannya variabel dapat dibedakan dalam variabel diskrit yaitu variabel-variabel yang hanya dapat diukur dengan skala nominal dan variabel continuous yaitu variabel yang dapat diukur dengan menggunakan skala-skala: ordinal, interval maupun rasio.

Skala nominal

Yang dimaksud skala nominal adalah skala pengukuran yang hanya menunjukan perbedaan tanpa jarak yang jelas. Kepada variabel tersebut dapat diberi nilai skor, tapi skor tersebut hanya menunjukkan kode perbedaan dan bukannya menunjukkan jarak (lebih besar, lebih tinggi).

Misalnya, variabel agama:

Islam: 5                        Hindu: 2

Kristen: 4                     Budha: 1

Katolik: 3

Angka atau nilai yang diberikan hanyalah sekedar menunjukan perbedaan bahwa 5 bukanlah 3 atau 1 bukanlah 4. Tetapi itu tidak berarti bahwa islam lebih tinggi kedudukannya dibanding katolik atau budha lebih tinggi rendah dibanding kristen.

Berkaitan dengan skala pengukuran nominal tersebut karena tidak menunjukan jarak maka tidak boleh: dijumlah, dikurangkan, dibagi atau dikalikan. Karena itu penggunaan dummy-variabel dalam analisis Regresi (misal untuk jenis kelamin) yang memberikan nilai ya=1 dan tidak=0 atau 10 dan 1 perlu dicermati lebih lanjut karena pria dibanding wanita tidaklah 1:0 atau 10:1. Oleh karena dalam menentukan gambaran umum tidak boleh menggunakan nilai rataan (mean) melainkan hanya dengan melihat sebaran frekuensi yaitu dengan menetapkan frekuensi yang tersebar (modus). Sehingga pernyataanya bukan lagi: rata-rata penduduk Indonesia melainkan sebagian besar penduduk Indonesia.

Skala ordinal

Berbeda dengan skala nominal skala ordinal adalah skala pengukuran yang disamping menunjukkan perbedaan juga menunjukkan jenjang atau tingkatan tetapi jarak antar skala atau jenjang/skala tidak sama.

Pengukuran skala ini juga dapat menggunakan nilai skor, tapi skor yang diberikan juga tidak boleh dijumlahkan, dikurangkan, dibagi atau dikalikan.

Contoh, tingkat kecerdikan:

Manusia: 10                  Tikus: 4

Kancil: 8                       Kelinci: 3

Kera: 7                         Semut: 1

Pada contoh tersebut pemberian nilai skor yang lebih tinggi tidak saja memiliki perbedaan tetapi sekaligus juga menunjukkan kelebihan atau aras yang lebih tinggi dibanding yang bernilai skor lebih rendah.

Meskipun perbedaan kecerdikan manusia dan kancil = 2, sementara perbedaan antara kera dan kancil = 1, bukan berarti perbedaan kecerdikan yang dimiliki manusia dan kancil = 2x perbedaan antara kancil dan kera.

Demikian pula meskipun skor kecerdikan manusia = 10 sementara kera = 5 dan kelinci = 3 itu tidak berarti bahwa kecerdikan manusia = kecerdikan kera + kecerdikan kelinci.

Berkaitan dengan sifat-sifat skala ordinal tersebut maka penarikan nilai rataan (mean) juga tidak dapat dilakukan melainkan cukup hanya dengan mengukur nilai tengah (median) atau tendensi sentralnya. Pengukuran rataan hanya bisa dilakukan manakala dilakukan pembobotan terlebih dahulu kemudian dilakukan penjumlahan serta penilain rataannya.

Skala interval dan rasio

Skala interval adalah skala yang mempunyai jarak jika dibanding dengan jarak lain sedang jarak itu diketahui dengan pasti. Misalnya: jarak semarang – magelang 70 km sedangkan magelang – yogya 101 km, maka selisih jarak magelang –yogya yaitu 31 km.

Skala rasio adalah skala perbandingan. Skala ini dalam hubungan antar sesamanya merupakan ”sekian kali”. Misalnya: berat pak karto 70 kg sedangkan anaknya 35 kg. Maka pak karto beratnya dua kali anaknya.

c. Pengukuran definisi variabel dan pengukurannya

Yang dimaksud dengan definisi variabel adalah pengertian yang diberikan kepada setiap variabel penelitian termasuk indikator parameternya.

Berdasarkan banyak nilai, ada variabel dikotomi (dua nilai) atau politomi (banyak nilai). Sedangkan dalam penelitian variabel dibagi dalam tiga kategori yaitu: (1) variabel bebas dan tidak bebas, (2) variabel aktif dan atribut, dan (3) variabel kontinyu dan diskret.

1. variabel bebas dan variabel tak bebas

Penelitian mencari sebab dan akibat dalam suatu gejala atau mencari hubungan diantara berbagai faktor. Variabel yang diduga sebagai penyebab atau pendahulu dari variabel yang lain disebut variabel bebas. Variabel yang diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang mendahuluinya disebut variabel tak bebas.

Suatu variabel boleh jadi variabel bebas pada satu penelitian tetapi variabel tak bebas pada penelitian lain. Misalnya konservatisme politik (variabel bebas) diselidiki pengaruhnya pada proses pembuatan keputusan. Pada penelitian lain, afiliasi dengan kelompok dianggap mempengaruhi konservatisme politik (variabel tak bebas). Jadi sebetulnya klasifikasi variabel dalam variabel bebas dan variabel tak bebas bergantung pada maksud penelitian.

2. variabel aktif dan variabel atribut

Dalam penelitian eksperimental kita berhadapan dengan variabel yang dapat kita manipulasikan dan variabel yang sudah jadi dan tidak dapat kita kendalikan. Kita dapat mengendalikan temperatur ruangan, atau tingkat hukuman yang diberikan guru pada murid, atau jumlah frekuensi kekerasan dalam acara televisi, atau jumlah insentif dalam kampanye Keluarga Berencana. Tapi kita tidak dapat mengendalikan umur, tingkat kecerdasan, status sosial, atau jenis kelamin. Variabel dalam kelompok contoh pertama disebut variabel aktif; dalam contoh kedua disebut variabel atribut. Satu-satunya cara meneliti variabel atribut tertentu ialah mengelompokkan subyek penelitian dalam kategori variabel atribut tertentu dan membandingkannya dengan subyek penelitian dalam kategori variabel atribut yang lain.

3. variabel kontinyu dan variabel diskret

Variabel kontinyu adalah variabel yang secara teoritis dapat mempunyai nilai yang bergerak tak terbatas antara dua nilai. Tinggi orang boleh jadi 1.5 m; 1,534 m; 1,5348 m dan seterusnya, bergantung pada kecermatan pengukuran. Variabel diskret hanya mempunyai satu nilai tertentu saja. Jumlah anak yang dimiliki adalah variabel diskret yang mempunyai nilai 1,2,3,4,5 dan seterunya dan tidak mungkin 1,5; 1,37; atau 2,5. dalam variabel diskret tidak ada nilai pecahan.

Tabel skala interval dan rasio

Variabel

Interval

Rasio

Umur

X

 

Tinggi badan

X

 

Jumlah anggota

 

X

produktivitas

 

X

Pendefinisian atau pemberian pengertian yang jelas terhadap variabel tersebut sangat diperlukan karena merupakan panduan bagi pengukuran dan data yang diperlukan serta perumusan instrumen pengumpulan datanya.

Berkaitan dengan penetapan ukuran-ukuran tersebut ada dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendekatan ”ethic” yang dikembangkan peneliti dengan konsep atau pandangan diluar obyek yang diteliti, dan pendekatan ”emic” yang dikembangkan dari obyek yang diteliti atau menurut ukuran yang disepakati oleh obyek peneliti itu sendiri.

Pengukuran skala ini sangat penting kaitannya dengan alat analisis yang akan digunakan. Oleh sebab itu segera setelah perumusan definisi dan pengukuran variabel ini perlu dilakukan kaji ulang terhadap Judul Penelitian yang diajukan.

Contoh: Judul tentang Pengaruh perlu segera diganti dengan Hubungan, manakala skala pengukuran tidak dapat dilakukan seluruhnya dengan skala interval/rasio.

DEFINISI VARIABEL DAN PENGUKURANNYA

Pengertian variabel

Variabel adalah konsep yang memiliki keragaman nilai.Tentang hal ini perlu diperhatikan bahwa variabel penelitian bukanlah dikembangkan atau dirumuskan berdasarkan angan-angan atau intuisi peneliti, tetapi harus ditetapkan berdasarkan kajian pustaka

RAGAM VARIABEL

1. Keragaman Variabel Menurut Kedudukan Atau Fungsinya

Variabel pengaruh adalah variabel yang keberadaanya dalam kerangka berpikir bersifat menentukan atau mempengaruhi variabel terpengaruh

variabel terpengaruh adalah variabel yang keberadaanya senantiasa dipengaruhi atau tergantung pada tiap-tiap atau keseluruhan variabel-variabel pengaruh.

2. Keragaman variabel menurut skala pengukurannya

variabel diskrit yaitu variabel-variabel yang hanya dapat diukur dengan skala nominal dan variabel continuous yaitu variabel yang dapat diukur dengan menggunakan skala-skala: ordinal, interval maupun rasio.

Skala nominal

Yang dimaksud skala nominal adalah skala pengukuran yang hanya menunjukan perbedaan tanpa jarak yang jelas. Kepada variabel tersebut dapat diberi nilai skor, tapi skor tersebut hanya menunjukkan kode perbedaan dan bukannya menunjukkan jarak (lebih besar, lebih tinggi).

Skala ordinal

Berbeda dengan skala nominal skala ordinal adalah skala pengukuran yang disamping menunjukkan perbedaan juga menunjukkan jenjang atau tingkatan tetapi jarak antar skala atau jenjang/skala tidak sama.

Pengukuran skala ini juga dapat menggunakan nilai skor, tapi skor yang diberikan juga tidak boleh dijumlahkan, dikurangkan, dibagi atau dikalikan

Skala interval dan rasio

Skala interval adalah skala yang mempunyai jarak jika dibanding dengan jarak lain sedang jarak itu diketahui dengan pasti.

Skala rasio adalah skala perbandingan. Skala ini dalam hubungan antar sesamanya merupakan ”sekian kali”

3. Pengukuran definisi variabel dan pengukurannya

Yang dimaksud dengan definisi variabel adalah pengertian yang diberikan kepada setiap variabel penelitian termasuk indikator parameternya.

Berdasarkan banyak nilai, ada variabel dikotomi (dua nilai) atau politomi (banyak nilai). Sedangkan dalam penelitian variabel dibagi dalam tiga kategori yaitu: (1) variabel bebas dan tidak bebas, (2) variabel aktif dan atribut, dan (3) variabel kontinyu dan diskret.

Berkaitan dengan penetapan ukuran-ukuran tersebut ada dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pendekatan ”ethic” yang dikembangkan peneliti dengan konsep atau pandangan diluar obyek yang diteliti, dan pendekatan ”emic” yang dikembangkan dari obyek yang diteliti atau menurut ukuran yang disepakati oleh obyek peneliti itu sendiri.

 

Fungsi – Fungsi Partai Politik

1. Sosialisasi Politik, mentransmisikan budaya politik dalam rangka pembentukan sikap dan orientasi anggota masyarakat sebagai warga Negara (Pendidikan Politik).
2. Rekruitment Politik, seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistim politik pada umumnya, dan pemerintahan secara khusus.
3. Partisipasi Politik, sarana kegiatan bagi masyarakat dalam mempengaruhi proses pembentukan pemimpin pemerintahan melalui pemilu dan pembuatan atau pelaksanaan kebijakan pemerintahan.
4. Artikulasi Kepentingan, merumuskan dan selanjutnya meyalurkan berbagai ragam pendapat, aspirasi, maupun kepentingan masyarakat kepada pemerintah.
5. Agregasi Kepentingan, mengolah dan memadukan berbagai tuntutan dan dukungan masyarakat untuk disalurkan kepada pemerintah.
6. Komunikasi Politik, menghubungkan antara arus informasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat atau sebaliknya

ANALISIS

1. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik sudah terlaksana karena ideologi politik partai sudah demikian matang sehingga konsep yang disosialisasikan juga jelas. PDIP sebagai partai nasionalis yang berideologikan marhaenisme, sebenarnya tidak perlu melakukan sosialisasi besar-besaran lagi. Partai ini diuntungkan dengan namanya yang telah begitu besar dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Prioritas pendidikan politik saat ini adalah :
1. kader partai;
2. Anggota partai;
3. Masyarakat
PDIP telah melaksanakan pendidikan politik khususnya terlihat pada kader dan anggota partai, yang aktif dalam pengusungan pemimpin daerah (bupati, walikota, dsb). Sedang, untuk pendidikan politik bagi masyarakat, PDIP melakukannya dengan merekrut massa, terlihat dalam setiap kampanye yang diadakan. Massa dalam hal ini, siap untuk mendukung partai besar ini.

2. Rekruitment Politik
(dalam kasus PDIP terdapat susunan struktur organisasi)
PDIP merekrut individu-individu yang kompeten serta berpengalaman atau dianggap mampu dalam mengemban tugas kepartaian, serta menjunjung tinggi nilai nasionalis yang demikian kental pada tubuh partai ini. Atau dengan kata lain, mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Sehingga partai juga turut memperluas partisipasi politik.
Dikutip dari salah satu media, Pramono Anung menjelaskan bahwa tidak ada pengajuan nama untuk calon menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua. “PDI Perjuangan tidak pernah mempunyai budaya untuk mengusulkan nama.”
Untuk memilih ketum mulai dari tingkat cabang. Mereka memutuskan dalam forum konferensi cabang untuk menentukan calon ketua umum yang diusung cabang yang bersangkutan. Sejak itu, proses dilanjutkan di konferensi daerah yang berlangsung di tingkat provinsi. Sistem yang dianut partai bukanlah Keputusan orang per orang sebagai perwakilan, melainkan keputusan bersama di tingkat cabang ataupun provinsi.
Namun menurut kelompok kami, proses penjaringan calon ataupun kaderisasi yang dilakukan oleh partai selama ini belum efektif, mengingat calon yang dipasang oleh partai belum tentu merupakan pilihan hati rakyat. Tetapi sejauh si calon dianggap kompeten serta mampu membuktikan kinerjanya, maka tidaka ada yang perlu ditakutkan.

3. Partisipasi Politik
Komunikasi politik yang ada di Indonesia secara umum tidak bisa dinilai efektif mengingat rendahnya pendidikan masyarakat dan pemahaman yang rendah akan politik, sehingga political willnya tidak jelas. Partisipasi politik harus difasilitasi dengan komunikasi politik yang baik, penilaian yang baik dan hubungan yang sinergis antara partai dengan masyarakat. Jika tidak partisipasi tidak akan pernah ada. Beberapa kendala yang dihadapi adalah rendahnya pendidikan masyarakat (karena biasanya tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat). Untuk itu PDI-P, melalui program-program dan arah politik, PDI Perjuangan terutama diarahkan guna mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, tapi sekaligus efektif. Penyudahan praktek KKN dan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang diikuti oleh perjuangan untuk mewujudkan adanya supremasi dan tegaknya hukum, pembagian dan pembatasan kekuasaan yang memungkinkan berjalannya prinsip checks and balances, dan berjalannya pengawasan politik dan sosial merupakan agenda-agenda pokok PDI-P yang harus diwujudkan oleh setiap kader dan anggota partai.
Sebagai contoh, mengkaji hasil Pemilu Pilpres 2009 yang memenangkan SBY-Boediono, berbagai pihak dan sejumlah pengamat politik menentang rencana koalisi PDI Perjuangan ke pemerintah. Menurut mereka, dengan merapatnya partai yang selama ini menjadi partai oposisi pemerintah, fungsi check and balances dalam pemerintahan yang baru akan sulit terjadi.

4. Artikulasi Kepentingan
Tidak hanya masyarakat saja yang dapat menyampaikan aspirasinya kepada partai. Sebagai contoh, DPP memanggil seluruh unsur pimpinan DPD untuk menyampaikan aspirasi mereka dan kader serta simpatisan terkait sikap partai, dalam hal menjadi oposisi atau koalisi, terkait kemenangan SBY-Boediono. Selama ini PDI-P dinilai sebagai partai “wong cilik” yang berbasis kedaulatan rakyat, dan kadangkala terbukti pernyataan itu benar, dan kadang tidak.

5. Agregasi Kepentingan
PDI-P sebagai saluran aspirasi masyarakat, beberapa kali telah melaksanakan fungsinya ini. Sebagai contoh, tuntutan masyarakat mengenai keterbukaan informasi yang digodok sebagai RUU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) yang berhasil menjadi UU, adalah berkat pengajuan dari partai ini. Kemudian tuntutan publik terkait pengusutan kasus Bank Century, PDI-P membentuk Tim Independen Kasus Bank Century. Serta Fraksi PDI Perjuangan yang menginisiasi pengguliran hak angket kasus Century juga turut membuktikan bahwa PDI-P menyalurkan aspirasi publik.

6. Komunikasi Politik
Komunikasi dalam tubuh partai dianggap seimbang, tidak hanya menerapkan downward communication (dari tingkat tertinggi hingga ke masyarakat) tetapi juga upward communication (dari masyarakat hingga tingkat tertinggi partai).
Salah satu tugas parpol adalah menyalurkan aneka pendapat yang berkembang di masyarakat. Usul kebijakan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum, dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat tersampaikan. Sedang di lain pihak partai politik juga berfungsi untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana/kebijakan pemerintah. Sehingga terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Namun, PDI-P tampaknya masih terlihat samar dalam menjalankan fungsi ini. Memang dalam komunikasi dari bawah ke atas, jelas terbukti kebenarannya, melalui aspirasi mayarakat yang tersalurkan, meskipun belum terealisasi semua dan secara sempurna. Sedangkan, dalam komunikasi dari atas ke bawah, tidak terlalu terlihat.

7. Pengatur Konflik
Di alam demokrasi, persaingan dan perbedaan dalam masyarakat adalah hal yang wajar. Partai politik berusaha untuk mengatasi jika suatu saat sampai terjadi konflik. Peran PDI-P dapat terlihat sekali dalam proses penyelesaian kasus Bank Century, dengan inisiasi pengajuan hak angket yang diikuti fraksi partai lain, serta pembentukan Tim Independen Kasus Bank Century. Jelas PDI-P ingin menengahi dan mengusut tuntas kasus yang banyak menyita atensi publik, tidak seperti proses hukum yang dilakukan Polri dan Kejaksaan Agung dinilai belum menyentuh para pengambil kebijakan.

Definisi Hukum

Pengertian Hukum

Hukum mempunyai pengertian yang beraneka ragam, dari segi macam, aspek dan ruang lingkup yang luas sekali cakupannya.kebanyakan para ahli hukum mengatakan tidak mungkin menbuat suatu definidi tentang apa sebenarnya hukum itu. Pendapat ini sejalan apa yang dikemukakan oleh van apel doorn yang mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan sedemikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatkannya dalam satu rumusan yang memuaskan. (Apeldoorn, 982: 13) oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian hukum atara lain dapat dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana pengertian masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adalah:

1.Hukum sebagai ilmu pengetahuan;
2. Hukum sebagai disiplin;
3. Hukum sebagai kaedah;
4. Hukum sebagai tata hukum;
5. Hukum sebagai petugas (hukum);
6. Hukum sebagai keputusan penguasa;
7. Hukum sebagai proses pemerintahan;
8. Hukum sebagaiperilaku yang ajeg atau sikap yang teratur;
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982:12)

Dikemukakannya pengertian dari hukum sangat penting agar tidak terjadi kesimpangsiuran atau kesalahpahaman dalam melakukan telaah terhadap hukum tersebut.
Berikut ini adalah pendapat dari beberapa ahli hukum mengenai definisi hukum:
• Utrecht: himpunan peraturan-peraturan (perintah+larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
• S.M Amin: kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum. Tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam prgaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
• JCT Simorangkir: hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badanbadan rtesmi yang berwajib,pelanggaran mana beerakibat diambil tindakan hukum tertentu.
• M. H. Titrtaamidjaja: hukum adalah semua aturan atau norma yang harus diturut dalam tingkah lku tindkn-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancman mesti menganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakn diri sendiri atau harta, unpamanya. Orang akan kehilangan kemerdekaan, didenda, dsb
• Lutrecht, Kansil (hal 1-49, hal 29-40)
Sebagai gejala sosial, hukum berusaha unruk terdapatnyta keseimbanagan antara kepentingn yang terdapat di dalam masyarakat, sehingga dapat di hindarkan timbulnya kekacauan di dalam masyarakat
• Definisi “hukum” dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):
1. peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas.
2. undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
3. patokan (kaidah atau ketentuan).
4. keputusan atau pertimbangan yang ditenukan oleh hakim dalm pengadilan, vonis.
• Hukum sebagai fenomena sosial : hukum terpasang pada masyarakatnya.
• Hukum sebagai institusi sosial: mengamati dan membicarakan semu struktur dan proses yang berhubungan dengan kegiatan dan proses perwujudan tujuan hukum. Dalam masayarakat terdapat berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
• Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Dari definisi-definisi tersebut terdapat unsur-unsur persamaannya:
• Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam unsur-unsur persamaannya.
• Peraturan diadakan oleh badan resmi yang berwajib.
• Peraturan bersifat memaksa.
• Sanksi yang tegas terhadap pelanggar.

Kategori hukum:
• Atas dasar sumber: undng-undang, kebiasaan/adat, traktat,yurisprudensi, hukum ilmu/doktrin.
• Atas dasar wilayah berlakunya: hyukum nasional, hukum internasiaonal.
• Atas dasar sanksinya: hukum memaksa, hukum mengatur.
• Atas dasar isinya: hukum publik, hukum privat.
• Atas dasar fungsinya: hukum materiil, hukum formil.

Ciri-ciri hukum:
• Adanya perintah/larangan.
• Perintah/larangan harus ditaaati.
Pelanggaran terhadap kaidah sosial yang merupakan keidah hukum biasanya pemerintah yang melalui alat penegak hukum, bertindak terhadap pelanggar hukum, yang dapat memaksa pelanggar berkelakuan menurut kaidah-kaidah tata tertib masyarakat.
Hukum atau ilmu hukum adalah suatu sistem aturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum.
Berikut ini definisi Hukum menurut para ahli :
– Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dala “ De Legibus”:
Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
– Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam “ De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625:
Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.
– J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH mengatakan bahwa :
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
– Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651:
Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
– Rudolf von Jhering dalam “ Der Zweck Im Recht” 1877-1882:
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara
– Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15):
Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Aliran Sosiologis

Roscoe Pound, memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).
2. Hukum dalam arti selaku kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau menentukan tingkah laku mereka).
Hukum bagi Rescoe Pound adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya.
Jhering: Law is the sum of the condition of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).
Bellefroid: Stelling recht is een ordening van het maatschappelijk leven, die voor een bepaalde gemeenschap geldt en op haar gezag is vastgesteid (Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu).

Aliran Realis

Holmes: The prophecies of what the court will do… are what I mean by the law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya artikan sebagai hukum).
Llewellyn: What officials do about disputes is the law it self (apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri).
Salmond: Hukum dimungkinkan untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.

Aliran Antropologi

Schapera: Law is any rule of conduct likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan).
Gluckman: Law is the whole reservoir of rules on which judges draw for their decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan putusannya).
Bohannan: Law is that body of binding obligations which has been reinstitutionalised within the legal institution (hukum adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum).

Aliran Historis

Karl von Savigny: All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness, the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.

Aliran Hukum Alam

Aristoteles: Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
Thomas Aquinas: Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.
Jhon Locke: Hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.
Emmanuel Kant: Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi dimana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain, sesuai dengan hukum-hukum tentang kemerdekaan.

Aliran Positivis

Jhon Austin: Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.
Blackstone: Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.
Hans Kelsen: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia… Hukum adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.

Previous Older Entries